Rabu, 26 Maret 2014

Diatas jalan, Dibawah Pohon Rindang



Siang ini langit begitu teduh, sebab mentari tak kuasa menyingkirkan gulungan awan yang saling bergemul satu dengan lainnya, menyatu lalu perlahan merubah rupanya menjadi agak kelam. Aku berjalan menyendiri, melewati deretan pepohonan rindang yang tengah menggugurkan dedauan keringnya. Sesekali kuseka salah satu daun yang jatuh tepat di atas kepalaku, memainkannya sebentar lalu membiarkannya terbang tertiup angin dari telapak tanganku.
Setitik air terasa menghujam wajahku, rintik telah mengawali hujan di siang teduh ini. Aku sedikit mempercepat langkahku untuk segera pulang, mungkin hanya sampai disini aku dapat memutar kenangan usang tentangnya. Esok aku akan kembali lalu seperti ini, lagi dan lagi selama yang aku mau.

######

Disitu, di bangku panjang di tengah taman itu untuk pertama kalinya aku “dipertemukan” tuhan dengannya. Hari itu aku tengah jenuh mengikuti mata kuliah yang memang membosankan. Tanpa tujuan yang jelas kakiku melangkah membelah jalan aspal, memandang apa saja yang aku lalui. Kupeluk lenganku berusaha mengurangi dingin di pagi mendung itu, setelah terasa lama kaki kulangkahkan aku mengedarkan pandangan mencari tempat untuk aku membuang lelah. Ditengah jalan dibawah pepohonan rindang kutemukan bangku kayu panjang tak terduduki.
Seseorang duduk disampingku, sedikit menggangguku karena gitarnya sesekali mengenai pundakku. Aku berniat beranjak pergi namun terhenti saat suaranya menahanku.
“hey, mau mendengar aku bernyanyi?”
Aku menoleh, ia tersenyum. Ah tuhan wajahnya ternyata sangat manis.
“hmm baik, aku harap suaramu tak mengecewakan” aku mencoba seasyik mungkin saat itu. Entah mengapa aku tak menolaknya, seperti aku telah mengenalnya dekat.
Ia mulai bernyanyi, wajahnya sungguh menawan. Rambut agak gondrongnya sesekali ia kibaskan karena menutupi mata teduhnya. Kepalanya terangguk-angguk mengikuti alunan nada yang ia nyanyikan, tangannya memetik senar gitar begitu lincahnya seakan ia terlahir untuk itu. Sambil bernyanyi ia memandang ke arahku penuh makna. Ia buatku malu dan suka...
Langit sudah mulai digelapkan tuhan, pemutaran memori tentangnya hari ini kurasa cukup. Aku bangkit dari bangku kayu panjang kenangan yang sudah mulai lapuk dimakan waktu. Aku akan kembali dengan kenangan lainnya, esok atau lusa.

######

Hari ini jalan “kenangan” ramai, karena hari ini adalah hari dimana kebanyakan orang mengistirahatkan kegiatannya dari jenuhnya bekerja atau belajar. Aku mengayun lagkah kakiku menyusuri bagian-bagian kecil tempat yang ingin aku ingat. Aku memandang kearah salah satu pohon besar yang berdiri kokoh disamping jalan, pohon tertua diantara deretan pohon-pohon lainnya.
      “siapa namamu? namaku sandi”. Ia memperkenalkan dirinya setelah kami tanpa sengaja bertemu untuk ke sekian kali.
      “aku sera”
      “kamu suka menyanyi?”
      Aku menggeleng, dalam hal menyanyi aku tahu aku lah orang yang paling payah.
      “bisa bermain gitar?”
      Aku menggeleng lagi, lebih kencang.
      “eem..mau mendengar aku bernyanyi lagi?”
      Aku menggeleng menggodanya.
      “tidak?”
      “haha bercanda aku senang mendengarmu bernyanyi”
      Dia tersenyum sambil mengacak-ngacak rambutku halus, aku gugup.
      “lagu apa yang mau kamu dengar?”
      Aku sedikit berpikir, aku ingat bahwa saat itu adalah hari ulang tahunku yang ke 19. Mungkin akan lucu jika dia menyanyikan lagu ulang tahun untukku.
      “lagu selamat ulang tahun..”
      Ia mengerutkan dahinya “hari ini hari ulang tahunmu?”
Aku mengangguk, ia pun mengangguk setuju. Segera ia keluarkan gitar yang selalu menemaninya dari tas gitar yang juga selalu bertengger di pundaknya. Kami mencari tempat duduk disekitar sini namun sayangnya tak ada yang bisa kami duduki. Setelah beberapa menit mencari akhirnya ia memutuskan untuk bersandar di salah satu pohon yang paling besar. Kaki kirinya ia lipat kebelakang juga bersandar pada pohon itu. Ia mulai menyanyi, untukku..
“selamat ulang tahun aku ucapkan, selamat sejahtera sehat sentosa....”
aku tertawa, dia pun ikut tertawa.

######

Langit menangis sepanjang hari, tak heran jalanan sepi ditinggal para pejalan yang enggan berdingin kehujanan. Hanya aku pagi ini yang dengan hebatnya melawan dingin di sepanjang jalan tanpa jaket bahkan payung. Tubuhku sudah menggigil sejak keluar dari rumah kecilku, entah mengapa perasaan ini membuat kakiku melangkah tanpa berpikir tentang tubuh yang dibawanya.
 Hujan hari itu mengerikan karena petir terdengar menggelegar beberapa kali. Kupercepat langkahku setelah keluar dari kampus menuju rumah yang kubayangkan nyaman dengan kehangatannya, aku kedinginan sekarang. Melewati jalan dengan banyak pohon rindang yang menjulang membuat aku semakin takut, pikirku  petir akan menyambar pepohonan yang tinggi, seperti pepohonan disini. Saat langkahku kuubah menjadi lari kilat malah semakin menjadi, bak bumi yang sedang difoto blitznya menyilaukan dan petir pun menggelegar memekakan telinga. Reflek aku berjongkok menutup kedua telinga, aku merasa sangat ciut dalam ketakutanku.
“apa yang kamu lakukan?”
Aku menoleh keasal suara, sandi berdiri dibelakangku dengan tas gitarnya dan payung. Melihatnya aku malah menangis, ia terlihat bingung.
“eh hey kenapa menangis? A...aaku tak membuatmu takutkan?”
Ia berjalan lalu ikut berjongkok dihadapanku, payungnya ia sodorkan kepadaku. Ia memandangku kasihan, ia terlihat bingung dengan apa yang harusnya ia lakukan. Tangannya terangkat seperti ingin mengusap air mataku tapi tak dilakukannya.
“aku bingung apa yang harus aku lakukan saat perempuan menangis ra”
Aku mengangkat kepalaku lalu memandangnya. Wajahnya memang terlihat sangat kebingungan dengan alis yang mengkerut lucu, kali ini aku malah tertawa.
“wajahmu kenapa begitu saat bingung, sandi” ucapku tertawa sambil mengusap air mata yang tersisa.
“ah kamu membuat aku bingung tau” jawabnya dengan tawa juga.
Tangannya mengacak-ngacak rambutku pelan, dengan tatapan tulus ia menatapku dalam lalu tiba-tiba memelukku erat. Payung yang ia bawa jatuh disampingku, membuat kami sama-sama basah kehujanan.
“jangan menangis lagi...”
Aku berhenti melangkah, menatap jalan dihadapanku. Aku mulai menangis sendiri sesegukan disitu, wajahku kututup dengan kedua telapak tangan. aku rindu kamu san, sangat rindu.

######

“kenapa tiba-tiba?” aku bertanya padanya, suaraku serak menahan tangis.
“bukan tiba-tiba, ra. Aku memang ingin pergi jauh sebelum aku bertemu denganmu”
Aku marah.
“dan kenapa kamu tidak memberi tau aku? Atau memang aku, aku...ah kamu jahat, san.....”
“....bahkan aku tidak dianggap penting bagimu?”
“bukan itu, please jangan berpikir begitu ra”
Aku mulai menangis, aku sangat takut saat itu. Entah perasaan apa yang berkecamuk di hatiku sehingga membuat aku marah mendengar ia akan pergi, meninggalkanku.
“sera, aku tak mau melihatmu menangis apalagi jika karena aku”
Ia terlihat bingung dengan wajah yang sama saat aku menangis kehujanan dulu, namun bedanya kali ini tak ada tawa. Ia mengepal tangannya kuat, entah menahan gejolak apa di hatinya.
“maaf, sungguh ser aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan dengan perempuan...”
“....entah aku harus memberitahumu atau tidak, aku harus bilang apa saat aku memberitahumu, entah penting kah untukmu aku membicarakan ini. Aku bingung ra! Aku tak pandai tentang perempuan”
Aku menatap wajahnya, Ya tuhan san itu kah yang kamu pikirkan? Tanpa memikirkan lagi rasa maluku aku memeluknya. Aroma khas tubuhnya membuatku nyaman, hangat tubuhnya sedikit terbagi menghangatkan ketakutanku, rambut agak gondrongnya menutupi sebagian wajahku diatas pundaknya. Aku semakin membenamkan wajahku padanya, nyaman.
sudah berapa menit aku melakukan adegan berpelukan dengannya disaksikan orang-orang yang lalu lalang. Aku tak ambil pusing, begitupun dia.
“sandi..” ucapku hampir berbisik.
“hmm?”
Aku mengeratkan pelukanku.
“kenangan kita belum sempurna, kau tau?”
“benarkah? Kurang apa menurutmu?”
Kami melepasakan pelukan kami masing-masing.
“eem....sebuah pengakuan, pengakuan yang membuat kamu terbayang kenangan ini selama kamu pergi jauh dariku. Kamu tak kan melupakanku kau tau?”
Dia tersenyum penasaran “pengakuan apa, sera?”
Aku agak menjauh darinya, dua langkah kebelakang lalu menatap langit sore waktu itu. Senja ini terlukis sempurna oleh tuhan, awan yang terbias serpihan cahaya mentari sore merubah warnanya menjadi oranye kemerahan. Kuas tuhan menyapu langit dengan mega yang begitu detail indahnya, bak langit syurga yang tuhan berikan sebentar untuk menghibur makhluknya.
“aku menyukaimu sandi....”  
######

Sesering waktu yang tak henti-hentinya memakan detik demi detik, aku masih disini walau terkadang kuakui jenuh. Namun, apalah kita jika sang rindu tak jua bisa berganti pada seorang yang lain. Kuambil gitar yang belum lama menemaniku lalu mulai memetiknya perlahan, walau belum sepenuhnya kukuasai aku sudah mengerti tentang bagaimana mencari nada-nada yang pas untuk mengiringi sebuah lagu.
Suara gitar menemaniku dibangku panjang kayu ini, bermain gitar seperti ini sedikitnya dapat menguras rinduku tidak dengan air mata. Mataku kupejamkan agar dapat merasakan tiap nada yang gitar ini hasilkan, mendayu ditengah bisu.
Sandi, aku menunggumu untuk membuat lagi guratan-guratan kenangan tentang aku dan kamu. Aku percaya kamu karena di dalam dirimu telah aku goreskan pengakuan tulus yang akan buatmu kembali untukku.
San, aku masih disini di tempat yang tetap sama saat kita pertama berjumpa. Diatas jalan, dibawah pohon rindang.
“maukah aku nyanyikan lagu?”
Suara itu, Sandi?


17 november 2013




Selasa, 04 Maret 2014

Kardus dan Mas

Kardus dan Mas

Zahra Sabilah
Ruang gelap beraroma lembab menyambut kedatanganku kala aku membuka pintu perlahan. Tumpukan-tumpukan kardus yang mulai lapuk tak terawat pun debu di setiap sisi benda menampakan ruangan ini telah lama tak tersentuh setidaknya untuk dibersihkan. Aku berjalan perlahan sambil kaki menendang benda yang menghalangi langkahku. Mataku tajam mengitari kardus-kardus yang tertumpuk berantakan di gudang rumahku dulu. Mencari salah satunya yang bercoretkan nama kecilku, Lala.
                Ah, disana. Aku menemukan kardus yang kucari sedari tadi. Tintanya sedikit kabur terlembabkan air, namun masih tereja namaku di sisi kanan paling bawah. Aku tersenyum lega.
Hmmm, kenangan-kenangan semasa SMA membubuhi kegiatanku kala melihat benda-benda yang mengisi penuh kardus berdebu ini. Dari mulai plastik putih yang tetap saja serupa tujuh tahun yang lalu saat saat sesorang memberiku coklat untuk kali pertama. Aku tersenyum sambil menggeleng pelan.

***
                Bel pulang terdengar nyaring. Membuat remaja-remaja yang telah lelah melahap pelajaran bergumam lega, termasuk aku. kubereskan secepatnya buku-buku berserakan di atas meja coklat penuh coretan nakal. Rasanya aku ingin segera keluar dari kelas yang baunya saja masih tercium aroma angka matematika, membuatku mual.
                “Lala, ke kantin yu”. Suara yang tak asing memanggilku dari arah pintu kelas. Aku menengok kearahnya dan mengangguk mengiyakan, yang diiyakan malah menampakan wajah memelas kelaparan. Aku tertawa melihat rupanya. Ia sahabatku, iyang namanya.
                Setelah dianggap selesai membereskan buku-buku, aku berniat keluar. Satu langkah keluar dari ruang kelas, wajahku seperti ada yang memerintah untuk berpaling ke arah kiri. Aku menuruti, sedetik berlalu seorang dari kelas yang berbeda di ujung sana pun keluar dan berpaling ke arahku. Seorang yang telah memilih berjanji untuk ku. Ia tersenyum, terlihat manis sekali walau dari kejauhan. Kala itu rasanya daun-daun berguguran mengindahkan tatapan antara aku dengannya. Serupa dalam drama-drama televisi musik bagai mengalun lembut, menemani waktu yang bagai terhenti untuk episode manis ini. Aku terdiam tergagap, mengangkat tangan lalu melambai kearahnya. Argh...aku terlihat bodoh sekali saat itu. Iyang menambah kebodohanku dengan tertawa menggoda.
                Rayhan berjalan menghampiri aku dan iyang. Ah, ku tak tau bagaimana rupa wajahku saat itu.
                “udah mau pulang?” tanyanya dengan tetap tersenyum.
                “iya. eh..engh...engga engga aku mau ngater iyang ke kantin” jawabku tak karuan, aku mengutuk kegelagapanku dalam hati.
                Iyang menyikutku pelan. Memberi sinyal padaku untuk tidak berlama-lama, namun nampaknya malah Rayhan yang lebih mengerti gelagat sahabatku itu dibanding aku. Rayhan membuka tas ransel yang sedari tadi ia peluk, mengeluarkan bungkusan plastik berwarna putih lalu memberikannya padaku.
                “buat kamu. Kalo mau pulang kasih tau ya?”
                Aku meraih pemberian Rayhan dengan mengangguk tersenyum. Kini wajahku bersemu sempurna.
                ***
                Kembali pada kegiatanku mengorek memoar dulu. Aku kembali mengaduk isi kardus ini. Debu semakin bertebaran memaksa masuk hidungku. Aku lupa tak memakai masker sebelumnya hingga rasanya sesak mulai menyerangku. Aku memandang sekeliling, sekiranya ada jendela yang dapat aku buka untuk membiarkan udara masuk memenuhi ruang apek ini. Tepat di sebelah tumpukan kardus kutemukan jendela tertutup triplek lapuk. Segera kusingkirkan penutupnya tuk mengundang udara masuk menemaniku bernafas di sini.
                Ada kertas tergulung terlihat diantara tumpukan benda-benda milikku. Aku lupa kertas apa yang dulu pernah aku masukan. Segera kuraih dan kubuka dengan sangat hati-hati. Memandang sebentar. Menutup mulut. Tersenyum.
***
                Untuk pertama kalinya dalam hidupku. Aku memandang foto seseorang lama sekali untuk yang kesekian kali. Entah lah, sepertinya bosan tak tega menghampiriku kala melihat betapa antusiasnya mataku menatap setiap lekuk wajah yang tertangkap foto itu. Wajah dilembar foto ini menghadap samping, memperlihatkan dengan detailnya lekuk-lekuk bentuk wajah Rayhan. Dari dahi, alis, hidung, mulut, dagu, dan rambutnya. Semuanya kuanggap lukisan paling indah yang diberikan Tuhan untukku. Hmm, cinta membuatku berlebihan dalam segala hal.
                Aku mengurung diri di kamar seharian. Mengunci pintu, tak membiarkan siapapun mengganggu kekhusyuanku. Kekhusyuan menggambar wajah Rayhan diatas kertas putih dengan torehan tanganku sendiri. Dengan sedikit keterampilan menggambar yang kupunya aku berniat menggambar wajahnya lalu memberikan hasilnya sebagai hadiah.
                “bagus banget, La. Udah cepetan kasih ke dia”
                “tapi malu, tau”
                “ih ngapain malu. Gue yakin dia bakal suka sama gambar lo”
                “engh..tapi..”
                Iyang memaksaku memberikan hasil gambarku setelah kuperlihatkan padanya. Entah mengapa niatku memberikan hasil gambarku padanya tak dapat kurealisasikan dengan baik. Malu menjadi faktor utama ketidak beranianku. Aku tak yakin apakah Rayhan akan meyukai gambar dirinya yang aku buat.
                Seperti biasa, sepulang sekolah aku dan Rayhan mencuri waktu tuk saling tukar cerita atau hanya sekedar saling pandang.
                “Rayhan?”
                “hmm?”
                Rayhan menatapku dalam. Aku malah terpaku menerima tatapannya.
***

                Aku tertawa sendiri mengingat kejadian waktu itu. Akhirnya gambar yang kubuat tetap menjadi milikku. Tanpa pernah sempat memberikan padanya sebagai hadiah. Aku meghela nafas pelan. Seru sekali mengingat keluguan cinta yang kupunya dulu. Masa dimana cinta adalah hal terpenting dari segala hal lainnya, bahkan lebih penting dari keluargaku dulu.
                “bunda, lagi apa?”
                Aku menoleh. Malaikat kecilku terlihat berdiri di ambang pintu, bertanya dengan mulut penuh coklat. Wajah menggemaskan Kemal terlihat dinodai coklat yang ia makan sendiri. Aku terhibur melihatnya.
                “lagi liat barang-barang yang bunda punya dulu, kemal mau liat juga? ” aku menghampirinya. Mengusap wajahnya yang kotor, ia malah berlari menghampiri kardusku dan asik mengacak-ngacak isinya. Sesaat mengeluarkan benda berwarna coklat.
                “ini tas buat kemal ya bun?” aku menoleh.
                Ia terlihat memakai tas pundak bertali panjang yang kepanjangan. Talinya melilit tubuh kemal yang agak gempal. Pemandangan yang membuatku tertawa karena tingkahnya.
                “itu kan tas perempuan, sayang”
                aku mendekat. Wajah kemal terlihat mulai kesal karena tak sanggup melepaskan dirinya sendiri. Kubantu lepaskan tali tas yang melilitnya dengan perlahan.
                “kemal mau bantu ayah benelin kipas aja ya buuun...”
                Ia berlari. Seketika menghilang di balik pintu gudang setelah ‘selamat’ dari lilitan tali. Aku memandang kepergiannya dengan menggeleng. Cepat sekali apa-apa yang dilakukan anak seusianya. Aku menunduk, melihat apa yang aku pegang. Tas ini...
***
                Kakiku mulai terasa pegal karena telah berjalan kurang lebih satu jam lebih. Aku mengurut lututku pelan.
                “kamu cape?”
                Aku mengangguk “dikit”
                “yaudah kita cari tempat istirahat sekalian kita makan, aku laper”
                Ia tertawa dalam kata ‘laper’nya. Membuat aku mengangguk tersenyum. Ada desiran halus di relung hati yang aku punya kala ia menggenggam tanganku tuk ikuti langkahnya. Lucu sekali aku ini. Niatku pergi ditemani Rayhan ke tempat perbelanjaan ini adalah mencari tas buatku, namun karena terlalu bingung memilih diantara banyaknya tas disini kurasakan lelah lebih dahulu sebelum menemukan apa yang aku cari.
                 “jadi, ngga ada yang cocok nih?”
                Aku menggeleng.
                Rayhan mencubit pipiku kesal – atau tepatnya manja – dengan pelan. Aku pura-pura kesakitan mengelus pipiku yang tak sakit. Ia tertawa memperlihatkan deretan gigi-gigi putihnya, matanya yang sudah agak sipit semakin sipit saja. Manis sekali.
                “udah deh kita jalan-jalan aja, soal tas nanti aku beliin, ya?” ucapnya sambil melahap sate yang tadi kami pesan. Aku menggeleng.
                “eh ngga usah. Nanti sama temen aja aku nyari lagi”
                “kok sama temen?”
                “emang mau nganterin lagi?”
                “engga”
                “eeeh kok engga?”
                “dih, katanya mau sama temen?” Wajah jahilnya mulai menampakan diri. Satu alis terangkat dengan bantuan senyuman nakal.
                Aku membalas tak kalah nakal. “iya, temen cowok, weeee”
                rayhan tertawa, aku juga. Lirikan-lirikan para pengunjung lainnya terasa menghujam ke arah aku dan dia. Aku tak ambil pusing, begitu pun Rayhan yang kini genggamnya malah tengah membungkus tanganku. Hangat.   
                Malam mulai beranjak larut. Dua makhluk yang hatinya dipenuhi nikmatnya rasa mulai bersiap pulang. Rasanya langit kala itu masih menaungi aku dengannya dalam genggam bersama. Semesta serupa mendukung lewat langit yang ia taburi gemintang berkilau. Semakin terasa saja dunai milikku, juga Rayhan.
                Sesuai janjinya beberapa bulan selanjutnya kiriman datang atas namaku. Tas coklat lucu bersemayam di dalam bungkusannya. Juga hatiku.
***  
                Aku mematung sesaat, berfikir. Ku masukan kembali tas dan benda-benda ‘kenangan’ ke dalam kardus. Menutupnya lalu berjanji tak akan membukanya lagi.
                “de lagi ngapain?” pertanyaan sama, namun berbeda suara membuatku menoleh lagi. Seseorang berdiri di ambang pintu sambil tersenyum. Alis matanya tebal hampir saling berpautan antara kanan dan kiri. Hidung mancung. rahang yang menampilkan ketegasan, namun ada mata yang memberikan ketenangan. Ia adalah teman, kakak sekaligus kekasihku. Dia suamiku.
                “lagi beresin gudang, mas” kujawab sekenanya sambil tangan masih memasukan beberapa benda ke kardus. Ia mendekat. Melihat gerak-gerikku tanpa berkedip. Aku salah tingkah dibuatnya.
                “jangan ngeliat kaya gitu toh, mas. Kan malu”. Ucapku manyun, ia tertawa.
                “kamu ini masih malu aja sama suamimu sendiri, de...de...”
                Aku tersenyum. Medekatinya lalu mengusap dahinya yang kotor. Sambil memandang mataku ia melingkarkan tangannya memeluk pinggangku.
                “kamu itu satu-satunya yang bisa bikin aku salah tingkah, mas. Bahkan sampai saat ini”
                Kusandarkan kepalaku di dadanya yang nyaman. aroma tubuhnya masih sama seperti saat pertama aku ada di dekapnya, juga kehangatan yang ia bagi tetap sehangat beberapa tahun yang lalu. Ia bukan Rayhan, bukan. Ia adalah lelaki yang mampu buatku lupa akan segala rasa yang kurasakan dulu. Cinta dan sakit. Ia selalu bisa membuatku jatuh cinta, lagi dan lagi setiap harinya. Semudah membalikan telapak tangan ia bangun kepercayaan akan aku dan dia yang dijodohkan tuhan. Ia membawaku ke jalan yang dibenarkan Tuhan. Ia yang dengan gampangnya merubah fikiranku – dulu – bahwa aku hanya bisa jatuh cinta dengan masa laluku, semudah ini. Semudah saat ia mengucapkan akad di hari yang paling membuatku bahagia, pernikahan kami.
                “bunda sama ayah lagi ngapain?” suara kemal ‘mengganggu’ keromantisan aku dan mas imam di gudang. Kami tertawa.
                Mas, aku jatuh cinta padamu di hari pertama kurasakan patah hati.


22 januari 2014