Siang ini langit begitu teduh, sebab
mentari tak kuasa menyingkirkan gulungan awan yang saling bergemul satu dengan
lainnya, menyatu lalu perlahan merubah rupanya menjadi agak kelam. Aku berjalan
menyendiri, melewati deretan pepohonan rindang yang tengah menggugurkan dedauan
keringnya. Sesekali kuseka salah satu daun yang jatuh tepat di atas kepalaku, memainkannya
sebentar lalu membiarkannya terbang tertiup angin dari telapak tanganku.
Setitik air terasa
menghujam wajahku, rintik telah mengawali hujan di siang teduh ini. Aku sedikit
mempercepat langkahku untuk segera pulang, mungkin hanya sampai disini aku
dapat memutar kenangan usang tentangnya. Esok aku akan kembali lalu seperti
ini, lagi dan lagi selama yang aku mau.
######
Disitu,
di bangku panjang di tengah taman itu untuk pertama kalinya aku “dipertemukan”
tuhan dengannya. Hari itu aku tengah jenuh mengikuti mata kuliah yang memang
membosankan. Tanpa tujuan yang jelas kakiku melangkah membelah jalan aspal,
memandang apa saja yang aku lalui. Kupeluk lenganku berusaha mengurangi dingin
di pagi mendung itu, setelah terasa lama kaki kulangkahkan aku mengedarkan
pandangan mencari tempat untuk aku membuang lelah. Ditengah jalan dibawah
pepohonan rindang kutemukan bangku kayu panjang tak terduduki.
Seseorang
duduk disampingku, sedikit menggangguku karena gitarnya sesekali mengenai
pundakku. Aku berniat beranjak pergi namun terhenti saat suaranya menahanku.
“hey,
mau mendengar aku bernyanyi?”
Aku
menoleh, ia tersenyum. Ah tuhan wajahnya ternyata sangat manis.
“hmm
baik, aku harap suaramu tak mengecewakan” aku mencoba seasyik mungkin saat itu.
Entah mengapa aku tak menolaknya, seperti aku telah mengenalnya dekat.
Ia
mulai bernyanyi, wajahnya sungguh menawan. Rambut agak gondrongnya sesekali ia
kibaskan karena menutupi mata teduhnya. Kepalanya terangguk-angguk mengikuti
alunan nada yang ia nyanyikan, tangannya memetik senar gitar begitu lincahnya
seakan ia terlahir untuk itu. Sambil bernyanyi ia memandang ke arahku penuh
makna. Ia buatku malu dan suka...
Langit sudah mulai
digelapkan tuhan, pemutaran memori tentangnya hari ini kurasa cukup. Aku
bangkit dari bangku kayu panjang kenangan yang sudah mulai lapuk dimakan waktu.
Aku akan kembali dengan kenangan lainnya, esok atau lusa.
######
Hari ini jalan “kenangan”
ramai, karena hari ini adalah hari dimana kebanyakan orang mengistirahatkan
kegiatannya dari jenuhnya bekerja atau belajar. Aku mengayun lagkah kakiku
menyusuri bagian-bagian kecil tempat yang ingin aku ingat. Aku memandang kearah
salah satu pohon besar yang berdiri kokoh disamping jalan, pohon tertua
diantara deretan pohon-pohon lainnya.
“siapa namamu? namaku sandi”. Ia
memperkenalkan dirinya setelah kami tanpa sengaja bertemu untuk ke sekian kali.
“aku sera”
“kamu suka menyanyi?”
Aku menggeleng, dalam hal menyanyi aku tahu
aku lah orang yang paling payah.
“bisa bermain gitar?”
Aku menggeleng lagi, lebih kencang.
“eem..mau mendengar aku bernyanyi lagi?”
Aku menggeleng menggodanya.
“tidak?”
“haha bercanda aku senang mendengarmu
bernyanyi”
Dia tersenyum sambil mengacak-ngacak
rambutku halus, aku gugup.
“lagu apa yang mau kamu dengar?”
Aku sedikit berpikir, aku ingat bahwa saat
itu adalah hari ulang tahunku yang ke 19. Mungkin akan lucu jika dia
menyanyikan lagu ulang tahun untukku.
“lagu selamat ulang tahun..”
Ia mengerutkan dahinya “hari ini hari
ulang tahunmu?”
Aku
mengangguk, ia pun mengangguk setuju. Segera ia keluarkan gitar yang selalu
menemaninya dari tas gitar yang juga selalu bertengger di pundaknya. Kami
mencari tempat duduk disekitar sini namun sayangnya tak ada yang bisa kami
duduki. Setelah beberapa menit mencari akhirnya ia memutuskan untuk bersandar
di salah satu pohon yang paling besar. Kaki kirinya ia lipat kebelakang juga
bersandar pada pohon itu. Ia mulai menyanyi, untukku..
“selamat
ulang tahun aku ucapkan, selamat sejahtera sehat sentosa....”
aku
tertawa, dia pun ikut tertawa.
######
Langit menangis
sepanjang hari, tak heran jalanan sepi ditinggal para pejalan yang enggan
berdingin kehujanan. Hanya aku pagi ini yang dengan hebatnya melawan dingin di
sepanjang jalan tanpa jaket bahkan payung. Tubuhku sudah menggigil sejak keluar
dari rumah kecilku, entah mengapa perasaan ini membuat kakiku melangkah tanpa
berpikir tentang tubuh yang dibawanya.
Hujan hari itu mengerikan karena petir
terdengar menggelegar beberapa kali. Kupercepat langkahku setelah keluar dari
kampus menuju rumah yang kubayangkan nyaman dengan kehangatannya, aku
kedinginan sekarang. Melewati jalan dengan banyak pohon rindang yang menjulang
membuat aku semakin takut, pikirku petir
akan menyambar pepohonan yang tinggi, seperti pepohonan disini. Saat langkahku
kuubah menjadi lari kilat malah semakin menjadi, bak bumi yang sedang difoto
blitznya menyilaukan dan petir pun menggelegar memekakan telinga. Reflek aku
berjongkok menutup kedua telinga, aku merasa sangat ciut dalam ketakutanku.
“apa
yang kamu lakukan?”
Aku
menoleh keasal suara, sandi berdiri dibelakangku dengan tas gitarnya dan
payung. Melihatnya aku malah menangis, ia terlihat bingung.
“eh
hey kenapa menangis? A...aaku tak membuatmu takutkan?”
Ia
berjalan lalu ikut berjongkok dihadapanku, payungnya ia sodorkan kepadaku. Ia
memandangku kasihan, ia terlihat bingung dengan apa yang harusnya ia lakukan.
Tangannya terangkat seperti ingin mengusap air mataku tapi tak dilakukannya.
“aku
bingung apa yang harus aku lakukan saat perempuan menangis ra”
Aku
mengangkat kepalaku lalu memandangnya. Wajahnya memang terlihat sangat
kebingungan dengan alis yang mengkerut lucu, kali ini aku malah tertawa.
“wajahmu
kenapa begitu saat bingung, sandi” ucapku tertawa sambil mengusap air mata yang
tersisa.
“ah
kamu membuat aku bingung tau” jawabnya dengan tawa juga.
Tangannya
mengacak-ngacak rambutku pelan, dengan tatapan tulus ia menatapku dalam lalu
tiba-tiba memelukku erat. Payung yang ia bawa jatuh disampingku, membuat kami
sama-sama basah kehujanan.
“jangan
menangis lagi...”
Aku berhenti melangkah,
menatap jalan dihadapanku. Aku mulai menangis sendiri sesegukan disitu, wajahku
kututup dengan kedua telapak tangan. aku
rindu kamu san, sangat rindu.
######
“kenapa
tiba-tiba?” aku bertanya padanya, suaraku serak menahan tangis.
“bukan
tiba-tiba, ra. Aku memang ingin pergi jauh sebelum aku bertemu denganmu”
Aku
marah.
“dan
kenapa kamu tidak memberi tau aku? Atau memang aku, aku...ah kamu jahat,
san.....”
“....bahkan
aku tidak dianggap penting bagimu?”
“bukan
itu, please jangan berpikir begitu ra”
Aku
mulai menangis, aku sangat takut saat itu. Entah perasaan apa yang berkecamuk
di hatiku sehingga membuat aku marah mendengar ia akan pergi, meninggalkanku.
“sera,
aku tak mau melihatmu menangis apalagi jika karena aku”
Ia
terlihat bingung dengan wajah yang sama saat aku menangis kehujanan dulu, namun
bedanya kali ini tak ada tawa. Ia mengepal tangannya kuat, entah menahan gejolak
apa di hatinya.
“maaf,
sungguh ser aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan dengan perempuan...”
“....entah
aku harus memberitahumu atau tidak, aku harus bilang apa saat aku
memberitahumu, entah penting kah untukmu aku membicarakan ini. Aku bingung ra!
Aku tak pandai tentang perempuan”
Aku
menatap wajahnya, Ya tuhan san itu kah yang kamu pikirkan? Tanpa memikirkan lagi
rasa maluku aku memeluknya. Aroma khas tubuhnya membuatku nyaman, hangat
tubuhnya sedikit terbagi menghangatkan ketakutanku, rambut agak gondrongnya
menutupi sebagian wajahku diatas pundaknya. Aku semakin membenamkan wajahku
padanya, nyaman.
sudah
berapa menit aku melakukan adegan berpelukan dengannya disaksikan orang-orang
yang lalu lalang. Aku tak ambil pusing, begitupun dia.
“sandi..”
ucapku hampir berbisik.
“hmm?”
Aku
mengeratkan pelukanku.
“kenangan
kita belum sempurna, kau tau?”
“benarkah?
Kurang apa menurutmu?”
Kami
melepasakan pelukan kami masing-masing.
“eem....sebuah
pengakuan, pengakuan yang membuat kamu terbayang kenangan ini selama kamu pergi
jauh dariku. Kamu tak kan melupakanku kau tau?”
Dia
tersenyum penasaran “pengakuan apa, sera?”
Aku
agak menjauh darinya, dua langkah kebelakang lalu menatap langit sore waktu itu.
Senja ini terlukis sempurna oleh tuhan, awan yang terbias serpihan cahaya
mentari sore merubah warnanya menjadi oranye kemerahan. Kuas tuhan menyapu
langit dengan mega yang begitu detail indahnya, bak langit syurga yang tuhan
berikan sebentar untuk menghibur makhluknya.
“aku
menyukaimu sandi....”
######
Sesering waktu yang tak
henti-hentinya memakan detik demi detik, aku masih disini walau terkadang
kuakui jenuh. Namun, apalah kita jika sang rindu tak jua bisa berganti pada
seorang yang lain. Kuambil gitar yang belum lama menemaniku lalu mulai
memetiknya perlahan, walau belum sepenuhnya kukuasai aku sudah mengerti tentang
bagaimana mencari nada-nada yang pas
untuk mengiringi sebuah lagu.
Suara gitar menemaniku
dibangku panjang kayu ini, bermain gitar seperti ini sedikitnya dapat menguras
rinduku tidak dengan air mata. Mataku kupejamkan agar dapat merasakan tiap nada
yang gitar ini hasilkan, mendayu ditengah bisu.
Sandi, aku menunggumu
untuk membuat lagi guratan-guratan kenangan tentang aku dan kamu. Aku percaya
kamu karena di dalam dirimu telah aku goreskan pengakuan tulus yang akan buatmu
kembali untukku.
San, aku masih disini
di tempat yang tetap sama saat kita pertama berjumpa. Diatas jalan, dibawah
pohon rindang.
“maukah aku nyanyikan
lagu?”
Suara
itu, Sandi?
17 november 2013