Itu adalah punggung
yang aku terkadang sejajar tepat di belakang, ketika langkah kita tak sama
disebabkan beberapa hal; kamu marah, aku lelah berjalan, kita tengah
terburu-buru sedang kakimu lebih panjang, atau aku yang pundung dan kamu tak
peka.
Punggungmu sejajar
dengan wajahku, sehingga seringkali wajahku menubruk punggungmu ketika berusaha
mengejar langkah besarmu namun kamu tiba-tiba berhenti. Berhenti ketika sadar
tak ada perempuanmu yang menyamai langkah kakimu. Kamu selalu terlambat
menyadari.
"Bukan aku, kamu
aja yang suka sekali melihat apa-apa yang kita lewati dengan teramat
detail" katamu, ketika aku protes jalanmu selalu di depanku. Kamu memang
selalu seperti itu, tak menikmati perjalanan sebelum kamu sampai tujuannya.
Kamu terlalu fokus pada tujuan.
Lalu kita mulai
menyadari, cara ‘sesederhana’ berjalan saja kita tak sama. Dan ya, dimulai dari
cara berjalan kita yang berbeda, sekelebat ‘ketidaksamaan’ antara aku dan kamu
bagai film yang diputar cepat di dalam kepala.
aku suka membaca lalu membuat sesuatu untuk dibaca seseorang
sedang kamu, membaca tulisanku saja tak mau.
Aku jatuh cinta pada secangkir kopi hitam yang kubayangkan manis
bila kita bisa berbagi wangi kopi berdua
Sedang katamu, “kopi terlalu pahit”
Aku tertawa mendengar lelucon-lelucon yang aku anggap itu lucu
Sedang melucumu bukanlah lelucon yang aku anggap lucu
Dan ini, itu
Dan ini, itu
Terlalu banyak
****
Itu adalah punggung
yang sama, satu tahun lalu. Tepat beberapa langkah
dari trotoar tempatku berdiri.
Sayang, untuk
mengikuti di belakangmu, memanggilmu, dan memprotesmu karena terlalu cepat
melangkah bukan lagi hal yang bisa kulakukan.
Jangan menoleh kebalakang, harapku dalam hati.
Kini, biar aku yang
mendahuluimu dengan langkah cepat. Melewati tanpa menoleh. Memberikan
punggungku untuk kamu lihat dan kamu kira-kira. Apakah itu punggung yang juga kamu rindu?
Depok, 29 Maret 2017