Selasa, 28 Maret 2017

Waktunya kita saling memunggungi.



Itu adalah punggung yang aku terkadang sejajar tepat di belakang, ketika langkah kita tak sama disebabkan beberapa hal; kamu marah, aku lelah berjalan, kita tengah terburu-buru sedang kakimu lebih panjang, atau aku yang pundung dan kamu tak peka. 

Punggungmu sejajar dengan wajahku, sehingga seringkali wajahku menubruk punggungmu ketika berusaha mengejar langkah besarmu namun kamu tiba-tiba berhenti. Berhenti ketika sadar tak ada perempuanmu yang menyamai langkah kakimu. Kamu selalu terlambat menyadari.

"Bukan aku, kamu aja yang suka sekali melihat apa-apa yang kita lewati dengan teramat detail" katamu, ketika aku protes jalanmu selalu di depanku. Kamu memang selalu seperti itu, tak menikmati perjalanan sebelum kamu sampai tujuannya. Kamu terlalu fokus pada tujuan.

Lalu kita mulai menyadari, cara ‘sesederhana’ berjalan saja kita tak sama. Dan ya, dimulai dari cara berjalan kita yang berbeda, sekelebat ‘ketidaksamaan’ antara aku dan kamu bagai film yang diputar cepat di dalam kepala.

aku suka membaca lalu membuat sesuatu untuk dibaca seseorang
sedang kamu, membaca tulisanku saja tak mau.

Aku jatuh cinta pada secangkir kopi hitam yang kubayangkan manis bila kita bisa berbagi wangi kopi berdua
Sedang katamu, “kopi terlalu pahit”

Aku tertawa mendengar lelucon-lelucon yang aku anggap itu lucu
Sedang melucumu bukanlah lelucon yang aku anggap lucu

Dan ini, itu
Dan ini, itu
Terlalu banyak

****

Itu adalah punggung yang sama, satu tahun lalu. Tepat beberapa langkah dari trotoar tempatku berdiri.
Sayang, untuk mengikuti di belakangmu, memanggilmu, dan memprotesmu karena terlalu cepat melangkah bukan lagi hal yang bisa kulakukan.

Jangan menoleh kebalakang, harapku dalam hati.
Kini, biar aku yang mendahuluimu dengan langkah cepat. Melewati tanpa menoleh. Memberikan punggungku untuk kamu lihat dan kamu kira-kira. Apakah itu punggung yang juga kamu rindu?


 Depok, 29 Maret 2017

Senin, 19 September 2016

Apel dan sebuah Keridhoan



Kuffah dilirik terik. Pada gurun, pada gersang dahaga yang terkadang meradang.
Matahari mencipta fatamorgana. Pada pandang diujung jalan, pada pasir yang berbisik kering.
Sesosok berjalan sedikit terseok. Dahaga telak menguntai kerongkongan. Keajaiban Allah cipta lewat air yang membelah dari padanya gurun yang menghampar bagai tak ada habisnya.
Juga pada sebuah apel yang tangkainya tak mampu lagi menahannya jatuh, lalu mengambang melambai pada sungai. Ialah Tsabit, lelaki berwajah teduh. Seakan bersamanya matahari diizinkan meredup –Yang dihadapannya mengalir air dengan ambang sebuah apel.
Dahaga memuncak, sebuah apel diangkat.
Dahaga mengelam, segigit apel tertelan.
Apa salahnya mengigit apel jatuh yang seakan tak bertuan? Ada.
Apel itu bertuhan. Sungai itu bertuhan. Pemiliknya bertuhan. Dan penemunya bertuhan.
Sayang, Tsabit terlanjur menelan. Terlanjur merasakan. Wajahnya menyesal sebab apel digenggamannya.  
Apalah arti keridhoan untuk segigit apel yang ditelan karena ditemukan? Baginya segala.
Lelah-lelah ia, sekiranya mencari tuan dari apel di genggamnya.
Allah mengirim sebuah apel untuk alasan menyatukan dua hamba yang meghamba padaNya, dengan caraNya.
Jauh di lain tempat, seorang wanita menunduk dalam ketaatan. Bersujud sebab menghamba. Mengadah tangan tanpa suruhan. Terpejam dalam keharuan sebab diberikan Tuhannya kehidupan yang teramat membahagiakan.
Ia ditawan oleh keindahan lantun Al’Qur’an. Ia dicandu oleh rindu akan syurga nirwana.
Apalah arti kebahagiaan semesta bila di syurga untuknya keabadiaan yang membahagiakan?
Ialah perempuan yang ayah menyebut dirinya buta, tuli, bisu, pun lumpuh.
 Ialah perempuan yang Allah mengarang skenarionya dengan teramat mulia. Yakni, disuakan dengan seorang pencari ridho sang tuan dari sebuah apel.
Ialah perempuan yang Allah jadikan rahimnya kelak naungan untuk seorang sholih.
 Yang dengan kasih sayangnya, seorang sholih itu tumbuh sebagai pribadi yang ridho sang ibunda adalah junjungannya.
Sebelum menggapai syurga, Allah menghadiahkan secuil syurga di dunianya. Sebab seberapa cintanya ia pada Dzat yang jiwanya berada dalam genggamNya.
Dialah si buta yang disebut ayahnya. Sebab matanya tak pernah ia arahkan pada hal yang Allah murka karenanya.
Dialah si bisu. Sebab mulutnya tak ia gunakan untuk berucap ungkap yang Allah murka karenanya.
Dialah si tuli. Sebab telinga yang tak ia mendengar kecuali semua yang Allah ridho atasnya.
Dialah si lumpuh. Sebab tak selangkahpun ia gunakan kaki kecuali ke tempat yang Allah ridho atasnya.
Dialah ummu abu hanifah, perempuan dengan semesta kesuciannya.
Wallahu’alam bissawab.



Zahra Sabilah
Serang, 26 Maret 2016

 


Kamis, 15 September 2016

Kal.

Waktu bagai merangkak. Berlalu sangat lambat. Rasanya matahari terlalu betah untuk bersinar sedang bulan terlalu nyaman untuk tetap tinggal. Dalam keadaan terjaga yang sehari bagai seminggu, kamu menunggu lelap, menuntut lupa dari sejuta kenang. Seolah jarum panjang pada jam tak lagi diciptakan untuk menunjukan detik, tapi menit.
Dan sejauh yang aku tau, penciptanya hanyalah dia, Kamu mengangguk.
Banyak orang berkata pertemuan adalah awal dari perpisahan. Kamu menggeleng, tak menyetujui ungkapan itu seluruhnya.
“masih ada kata kembali, kan?”
Aku mengangguk ragu. Mengiyakan pertanyaan sekaligus pernyataanmu. Ya, perpisahan bisa diartikan pergi, sedang setelah pergi ada kata kembali. Walau jarang, namun kamu mempercayainya. Atau mencoba untuk mempercayainya.
Kamu tak menangis, tapi aku tahu kamu hanya gengsi untuk menangis di depanku. aku bisa melihat matamu yang berkilau, bibir yang kamu gigit sesekali, dan gemetar suaramu yang bisa kudengar. Aku jadi kasihan pada laki-laki. Menganggap menangis adalah bentuk kelemahan.
Aku menggenggam tanganmu lembut. Menepuk pundakmu dengan senyum simpati.
“ masih ada aku, kan? Aku sama seorang perempuan sepertinya. Jadi, kenapa tak mencoba bahagia denganku?”
Kamu menatapku.
“….sebagai teman, tentu saja. Seperti tahun-tahun kemarin. Tertawa adalah hal yang paling sederhana untuk kita”
Kita?
Perih itu kembali. Agak menghentakku seketika, disini, di sekitar dada.
Lalu kudengar kamu tertawa. Tawa yang aku kenal dulu, lama sekali.
“aku agak kaget mendengar kata-katamu tadi. Aku kira….”
kamu terdiam sebentar.
“…ah, sudahlah. Dan hei, aku jadi merasa baikan sekarang. Terimakasih”
Aku mengangguk. Melepas genggamku pada tanganmu.
Kenapa tak kau ungkap saja apa yang kamu kira dalam hatimu itu, Kal?

Bersambung.





Jumat, 05 Agustus 2016

Perjalanan; memilih pergi atau pulang.



Perjalanan,
Adalah tentang jarak yang harus ditempuh, waktu yang mesti diburu, dan riuh. Atau tentang perkenalan sekaligus perpisahannya, panas kemudian dinginnya, bau-bau kendaraan dan wewangian para penumpang.
Khalayalan melayang. Tanpa suara berbicara pada bayang di jendela. Sesekali mencoba menatap mata sendiri dalam pantulan, menyadari bola mata yang lebih jarang dipandang dibanding memandang bola mata keluarga, teman, atau kamu.

Seberapa jauh, seberapa lama, seberapa mahal, perjalanan hanya untuk dua; memilih pergi atau pulang.

Adalah tentang pergi. Sebab tuntutan adalah titah yang harus dituruti, menyisakan perpisahan untuk orang-orang yang ditinggalkan dan meninggalkan.  
Juga tentang pulang. Ketika kesepian tinggal satu-satunya teman, atau kerinduan sesaknya sudah bukan kepalang. Pulang adalah kebutuhan. Tiga kali dalam sebulan, laiknya obat.

Atau kamu, alasan aku menyabarkan jauh. Sekedar untuk  menjinakkan rindu yang bertepuk sebelah tangan.





Depok, 05 Agustus 2016

Minggu, 12 Juni 2016

Menyukaimu adalah mengetik tentangmu, dengan amat detail


Memilih menyukaimu adalah membiarkan sakit tanpa diobati. Kita sama-sama saling bertatap, tapi kita tak sama-sama saling berharap. Menyukaimu ialah tertawa yang dipaksakan, kau melucu tentang perempuan bukan aku. Aku tertawa, kau pun tertawa. Aku terpaksa, kau tak terpaksa.    
Menyukaimu adalah mencoba sebisa mungkin menatap lingkar hitam bola matamu. Hilangkan gugup, sembunyikan kenyataan tentang sukaku. Menyukaimu adalah bersandiwara menjadi kawan, bahkan adik. Tak boleh lebih, kurang boleh. Sesekali menyukaimu adalah menjadi gampangan. Kapan kau butuh, kapan kau pinta, aku tak pernah alpa. Aku tak sanggup jual mahal.
Menyukaimu adalah mencarimu sebab rindu. Setelah ketemu, aku berlalu. Merindumu adalah menyapamu. Menyukaimu adalah mendengar cerita kasihmu, kekasihmu. Aku akan berpura-pura menggodamu hingga kau tersipu.  
Menyukaimu cukup hanya mengetik tentangmu, dengan amat detail.



Depok, 05 januari 2015

Rabu, 01 Juni 2016

Dan bisakah sepi sedikit lama lagi?


Hai, sepi. Terimakasih telah memberi ruang untuk berbicara tanpa didengar siapa-siapa. Yang pada heningnya memberi kesenduan yang menawan, layaknya pohon di jantung hutan, merunduk dengan tari semilir –ranting bergoyang, daun melambai. Atau jeda sementara, dari riuh masalah dan pekak semesta, membuat pejaman sepuluh detik saja menentramkan.
Waktu benar-benar serius merubah tiap detiknya semakin cepat, atau aku saja yang melambat? Sepi datang seakan hanya sekelebat lewat, seperti tiap kilat sebelum gemuruh di masa penghujan.
Semoga sepi datang. Agar hening dirasa, seperti saat di rahim dulu, hanya terdengar degup halus jantung ibu. Dan bisakah sedikit lebih lama lagi?
Ada lelah yang dirasa dari tuntutan, peraturan dan kepura-puraan. Dan sepi menjadi salah satu jawaban; Untuk bersimpuh khusyu’, untuk air mata luruh, untuk bersiap menjelma perempuan baru.
Dan bisakah sepi sedikit lama lagi?








Depok, 1 Juni 2016

Minggu, 29 Mei 2016

Laki-laki Sipit Berkacamata


Tak banyak yang berubah dari dirinya, laki-laki sipit berkacamata. Hanya badanya yang lebih berisi, selain itu, semua masih tetap sama dari dua tahun lalu. Rentang waktu yang cukup lama untuk dua orang yang dulu sehari tak bertemu saja rindu.
 Tak ada percakapan. Hanya kontak mata yang tak berarti apa-apa. Hanya salaman sebatas penghormatan sebagai teman yang sudah lama tak bersua. Hanya tanya basa-basi yang sangat tidak penting sekali. Jauh dari ekspektasi-ekspektasi liar yang memenuhi kepala; keromantisan, kegugupan, dan debar seperti dua tahun lalu. Semua terbang bersama angin sore pedesaan.
Aku wanita yang banyak salah sangka. Cinta yang paling kupuja adalah ketololan yang memalukan. Memaksakan manusia yang tak sempurna bak pangeran dari negeri dongeng, dia yang tampan, dia yang baik, dia yang memperdulikanku, dia yang hidup hanya untuk kesenanganku adalah kesalahan yang kini kutertawakan. Dewasa menjadi masa menertawakan kenangan masa lalu , juga waktu untuk menahan malu.
Bagaimana dulu bisa sebegitu polosnya?
Untung aku pelupa. Banyak kebodohan yang terlupa dimakan usia.
Laki-laki sipit berkacamata. Mengajarkan rasa malu sedalam-dalamnya, mengajarkan melihat laki-laki dari sisi yang paling kelam, dan mengajarkan menjadi perempuan bersalah selamanya.
Bukan sepenuhnya salah dia. Sebagian besar memang dari diri yang belum dewasa tapi menjalani cinta sok dewasa. Akhirnya ada satu kesimpulan, masa remaja itu menakutkan.
Walau akhirnya aku mencoba untuk berterimakasih. Tanpanya aku tak akan pernah bisa memulai untuk menulis cerita. Tanpanya aku tak akan miliki kecamuk rasa yang bisa kutuang dalam kata. Tanpanya aku tak akan pernah menjadi perempuan dewasa.


Depok, 29 Mei 2016